Saya dan Liturgi
MENGAPA KITA SELALU MENEMPATKAN SALIB DI ALTAR? MENGAPA UMAT KATOLIK MERAYAKAN WAFAT KRISTUS LEBIH SERING DARIPADA MERAYAKAN KEBANGKITAN-NYA? Pedoman Umum Misale Romawi menyatakan. “Juga di atas atau di dekat altar hendaknya dipajang sebuah salib dengan sosok Kristus tersalib. Salib itu harus mudah dilihat oleh seluruh umat” (no. 308). Bahasa Latin dari `salib' adalah `crux' yang bagi umat Kristen Katolik berarti salib dengan `corpus' atau tubuh Juruselamat kita yang tersalib di atasnya.
Gereja Katolik menempatkan corpus di atas salib bukan karena kita menyembah Kristus yang wafat atau pun merayakan wafat Kristus lebih sering daripada merayakan kebangkitan-Nya, melainkan sebagai peringatan akan apa yang telah Ia lakukan bagi kita. Melalui wafat Kristus di salib itulah kita beroleh keselamatan. Dalam spiritualitas Katolik, salib dan kebangkitan Kristus tak dapat dipisahkan, demikian juga bagi mereka yang hendak menjadi pengikut-Nya. Memperoleh terang kebangkitan tanpa melalui salib adalah tidak mungkin bagi Kristus dan kita semua dipanggil untuk mengikuti teladan-Nya. Kita semua diminta untuk memikul salib kita serta mengikuti-Nya (Mat 10:38, 16:24; Mrk 8:34; Luk 9:23). Kurban, kita diingatkan akan kurban Kristus melalui kehadiran corpus, adalah apa yang Ia lakukan bagi kita dan untuk itulah kita dipanggil jika hendak menjadi pengikut-Nya yang sejati.
“Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.” (Roma 8:16-17)
Kurban-Nya di atas salib itulah yang kita hadirkan kembali kepada Allah Bapa dalam setiap Misa, sementara kita bersatu dengan Kristus dalam mempersembahkan Kurban-Nya yang abadi di surga seperti dilihat oleh St. Yohanes: “Maka aku melihat di tengah-tengah takhta berdiri seekor Anak Domba seperti telah disembelih.” (Why 5:6). Singkat kata, Yesus tidak dapat memisahkan antara Wafat-Nya disalib dan Kebangkitan-Nya, dan oleh sebab itu, demikian juga kita. Menggunakan kata-kata St. Yohanes dan St. Paulus:
“Sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:14-15)
“tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan.” (1Kor 1:23)
sumber : "I'm Glad You Asked", Questions from the parishioners of St. Charles Borromeo Catholic Church Picayune, Mississippi; by Fr. John Noone; Copyright © 1999; www.scborromeo.org
TANYA: Nama saya Steve dan umur saya 15 tahun. Saya seorang Katolik sejak bayi, tetapi saya belum mengerti mengapa kita menyalakan lilin di gereja. Apakah itu artinya?
JAWAB: Steve, Yesus menyebut diriNya "Terang Dunia" dan Ia bersabda bahwa kita harus menjadi "terang" bagi sesama, jadi lilin adalah lambang kristus sebagai Terang Dunia. Penggunaan lilin telah menjadi tradisi Gereja sejak lama. Lilin yang kamu maksud disebut "votive" atau "vigil" (Vigili, Latin = berjaga-jaga). Dengan menyalakan lilin di gereja, sebenarnya orang ingin memperpanjang doa dan kehadirannya, sebab ia sendiri tidak bisa tinggal lebih lama di gereja. Lilin yang menyala melambangkan kehadiran dan doanya.
Kaum Yahudi Orthodox di Yerusalem mempunyai kebiasaan untuk menuliskan doa-doa mereka di selembar kertas dan menempatkannya di celah-celah Tembok Ratapan, memohon agar doa-doa mereka dihantarkan kepada Tuhan ketika mereka tidak dapat berada di sana untuk berdoa. Kita diperintahkan oleh Tuhan untuk "senantiasa berdoa" dan nyala lilin adalah salah satu cara untuk menunjukkan bahwa kita bersungguh-sungguh dengan kehidupan doa kita.
sumber : The Young Saints Club; www.geocities.com/Athens/1619
TANYA: Nama saya Jessica dan umur saya 12 tahun. Seorang teman saya yang beragama Protestan bercerita kepada saya bahwa pendetanya mengatakan orang Katolik menyembah patung. Saya tahu bahwa kita tidak menyembah patung, tetapi saya tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Dapatkah anda menolong saya?
JAWAB: Baiklah, Jessica, kamu benar bahwa kita, orang Katolik, tidak menyembah patung. Sebagian orang salah mengerti dengan kepercayaan kita karena kita menempatkan patung-patung di gereja kita dan kadang-kadang kita berdoa di depannya. Sebenarnya, kita menggunakan patung, gambar, dsbnya, sebagai sarana untuk memusatkan pikiran kita. Banyak orang yang mengalami kesulitan untuk berbicara dengan Tuhan yang tidak dapat mereka lihat atau dengar. Kita berdoa kepada Tuhan, tetapi pikiran kita menerawang. Kita mempergunakan patung serta gambar religius untuk membantu kita berkonsentrasi. Sama seperti jika kamu memandang foto ibumu, maka kamu akan teringat akan ibumu. Demikian juga, dengan memandang patung, gambar atau pun lukisan para kudus, kita akan teringat pada teladan mereka. Banyak orang Protestan sendiri memiliki gambar Yesus atau gambar-gambar Kitab Suci lainnya di Sekolah Minggu untuk membantu mereka mengajar anak-anak. Dalam Kitab Suci, Tuhan memerintahkan pembuatan patung bagi rumahNya, misalnya dalam Keluaran 25, di mana Tuhan bersabda: "Dan haruslah kaubuat dua kerub dari emas, [kerub: makhluk surgawi yang bersayap]...". Sekali lagi, patung-patung itu bukan untuk disembah, tetapi untuk mengingatkan kita akan makhluk-makhluk surgawi.
sumber : The Young Saints Club; www.geocities.com/Athens/1619
MENGAPA SAYA HARUS BERLUTUT DI HADAPAN TUHAN? Dalam Gereja Katolik kamu akan mendapati tempat berlutut dipasang menjadi satu dengan bangku gereja. Tempat berlutut itu biasanya berupa papan dengan bantalan di atasnya tempat kamu berlutut. Di gereja-gereja Katedral (Katedral = gereja keuskupan) di Eropa dan di Basilika (Basilika = gereja besar di Roma) jarang atau bahkan tidak kita jumpai sama sekali bangku atau pun tempat berlutut. Sebagai gantinya, kamu akan mendapati prie-dieu, yaitu mebel yang khusus didesain untuk berlutut. Kata "prie-dieu" berasal dari bahasa Perancis yang artinya "berdoa" dan "Tuhan". Prie-dieu mempunyai tempat untuk meletakkan buku-buku doa atau litani - atau untuk sekedar meletakkan siku kita ketika berdoa. Beberapa sekte gereja tidak bercaya akan hal berlutut. Mereka bahkan mengatur bangkunya sedemikian rupa sehingga umat tidak dapat berlutut.
Kebiasaan untuk menekuk satu lutut (genuflect) atau kedua lutut (berlutut) berasal dari kebiasaan kuno. Pada jaman dahulu, para raja menghendakinya sebagai perlindungan diri. Para penguasa biasanya bersantap seorang diri. Siapa pun yang masuk menghadap raja dapat merupakan suatu ancaman. Para tamu diwajibkan untuk berlutut dihadapannya sebagai suatu cara untuk menunjukkan bahwa mereka tidak membawa senjata dan karenanya tidak berbahaya. Berlutut merupakan sikap penyerahan diri kepada yang lebih berkuasa. Dengan berlutut orang menganggap dirinya sendiri tidak berdaya dan tunduk di bawah perintah. Dengan posisi lutut yang ditekuk, orang tidak dapat lari atau pun berjalan dengan mudah sehingga orang lain dapat menguasainya. Lama-kelamaan berlutut berkembang menjadi suatu cara untuk menunjukkan sikap hormat.
Kitab Suci mendorong kita untuk berlutut. "Dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi." (Filipi 2:10).
Ada suatu kebiasaan kuno di mana seorang pemuda akan berlutut ketika meminta seorang gadis untuk menikah dengannya. Kita berlutut untuk meminta Tuhan membagi Diri-Nya dengan kita. Kita berlutut di hadapan Tuhan untuk mengatakan bahwa kita mengandalkan Dia untuk mengendalikan dan menguasai kita sepenuhnya. Berlutut adalah ungkapan rasa cinta dan hormat.
sumber : P. Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com
MENGAPA IBADAH KATOLIK DISEBUT MISA? Perayaan Ekaristi berakhir ketika imam mengatakan, “Misa telah selesai…” dan umat menjawab, “Syukur kepada Allah.” Kedengarannya hampir seperti umat merasa bersyukur bahwa upacara telah selesai.
Kata “Misa” berasal dari bahasa Latin “missa” yang artinya “pembubaran”. Pada bagian akhir Perayaan Ekaristi dalam bahasa Latin, imam akan mengatakan “Ite, missa est.”
Arti lain dari pernyataan tersebut adalah “Pergilah, ini suatu misi (= perutusan)." Dengan kata lain, kita baru saja mengalami suatu hubungan pribadi secara rohani dan jasmani dengan Tuhan. Namun pengalaman itu tidak berakhir di situ. Kita diutus untuk membagikan apa yang telah kita alami itu dengan sesama kita.
sumber : P. Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com
MENGAPA PERAYAAN MISA MEMBOSANKAN? Perayaan Misa Katolik bisa jadi suatu upacara yang membosankan. Sebetulnya tidak harus demikian dan memang tidak boleh demikian. Banyak imam "membacakan" Misa seperti mereka membaca kamus atau buku telepon. Mirip seperti suatu jampi-jampi agama yang harus selalu dilaksanakan secara tepat dan sama, karena jika tidak demikian tidak akan berhasil. Lagi pula, ada banyak orang Katolik yang dengan keras kepala menolak segala suasana yang hidup dan ekspresif dalam Misa. Namun demikian, ada juga Perayaan-perayaan Misa yang menarik dan menyenangkan. Mengapa demikian?
Pertama-tama kita harus paham mengapa perayaan tersebut dinamakan "Misa". Kata Misa berasal dari kata "missio (Latin) = misi = tugas perutusan". Dalam perayaan Misa lama, biasanya imam mengakhiri Misa dengan berkata, "Pergilah dan wartakanlah Sabda Tuhan." Kemudian umat menjawab, "Syukur kepada Allah" Tetapi, sekarang banyak imam yang hanya mengatakan, "Saudara-saudara, dengan demikian perayaan Misa sudah selesai." Dan umat tetap menjawab, "Syukur kepada Allah" Jadi, dalam perayaan Misa lama umat ditantang untuk suatu tugas perutusan, yaitu mewartakan Sabda Tuhan. Tetapi sekarang, tantangan kita dalam perayaan Misa seringkali adalah berusaha agar tidak tertidur! Sesungguhnya, saat pulang dari Misa, kita masing-masing menerima tugas perutusan untuk mengubah dunia. Coba minta imammu untuk melakukannya. Pasti ia mau - asal kamu sendiri juga bersungguh-sungguh dalam mengikuti Misa.
sumber : P. Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com
APAKAH MENGABAIKAN MISA RAYA PADA HARI MINGGU MERUPAKAN DOSA BERAT? Perintah ketiga dalam Sepuluh Perintah Allah adalah Kuduskanlah hari Tuhan. Pada jaman Perjanjian Lama, umat Tuhan berhenti bekerja dan berkumpul bersama untuk beribadah pada hari Sabat, yaitu hari Sabtu. Namun demikian, Gereja Perdana beristirahat dan berkumpul bersama untuk memuliakan Tuhan pada hari Minggu karena Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita, bangkit dari antara orang mati pada pagi hari Minggu Paskah. Hari Minggu bukan hanya sekedar hari untuk beribadah tetapi juga hari sukacita dan kebersamaan dalam keluarga.
Sekarang masalah apakah mengabaikan Misa Raya pada hari Minggu merupakan dosa berat atau tidak. Suatu perbuatan merupakan dosa berat jika dipenuhi secara serentak tiga persyaratan dosa berat. Mengabaikan Misa Raya pada hari Minggu merupakan masalah yang serius. Jika kita memiliki pengetahuan penuh bahwa melanggar salah satu dari Sepuluh Perintah Allah adalah dosa karena melanggar perintah Tuhan, maka persyaratan kedua terpenuhi. Jika kita menyadari bahwa perintah Tuhan yang ketiga meminta kita untuk berkumpul bersama dan beribadah kepada-Nya dan kita tahu bahwa melanggar Perintah-Nya berarti melakukan dosa berat, tetapi kendaraanmu mogok dan tidak ada cara lain untuk pergi ke Misa, maka persyaratan ketiga tidak terpenuhi. Tetapi jika kita mengabaikan Misa hanya karena ada hal lain yang lebih suka kita lakukan daripada pergi ke Misa (misalnya bermain, pergi tamasya, dll) maka kita secara suka rela memilih untuk melakukan dosa berat. Mengabaikan Misa Raya pada hari Minggu karena alasan demikian sama seperti mengatakan “Aku tidak cukup mencintai Tuhan sehingga merasa perlu untuk meluangkan waktu bersama-Nya.”
sumber : I'm Glad You Asked, Questions from the parishioners of St. Charles Borromeo Catholic Church
Picayune, Mississippi; www.scborromeo.org
APA ITU RITUS TIMUR? Kata “ritus” berarti “upacara” atau ritual. Pada waktu sebagian besar orang Katolik ambil bagian dalam Misa, kita menggunakan ritus yang sama dalam ibadat kita. Tetapi ritus kita itu bukanlah satu-satunya tatacara. Ada sebagian orang Katolik saleh lainnya yang menggunakan ritus yang berbeda dalam merayakan Misa. Mereka juga mempunyai kebiasaan-kebiasaan serta tradisi yang berbeda dari kita. Namun demikian, mereka semua juga merupakan bagian dari Gereja Katolik yang sama dengan kita.
Gereja yang menggunakan ritus-ritus yang berbeda itu disebut “Gereja Ritus Timur.” Gereja Katolik Roma terdiri dari 23 ritus atau keluarga yang berbeda. Kitalah yang terbesar. Kita termasuk dalam Ritus Latin, meskipun sekarang hanya sedikit saja yang masih mempergunakan bahasa Latin. Termasuk di antara ritus-ritus lain itu adalah: Armenian, Byzantine, Chaldean, Coptic, Yunani, Melkite dan ritus-ritus Katolik lainnya.
Kita dipersatukan dengan ritus-ritus tersebut oleh dua hal: kita mempunyai Kredo yang sama dan pemimpin yang sama, yaitu Bapa Suci.
sumber : P. Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com
APA ITU DUPA RATUS ATAU PEDUPAAN? Pernahkah kalian ikut ambil bagian dalam Perayaan Misa di mana imam menggunakan dupa? Sebagian orang menganggapnya agung, sebagian lagi menganggapnya terlalu berlebihan. Dupa adalah simbol. Dupa mengingatkan kita bahwa pada intinya, Misa adalah suatu kurban. Kurban adalah suatu persembahan bagi orang lain. Persembahan itu biasanya sesuatu yang berharga, setidak-tidaknya bagi orang yang bersangkutan. Perayaan Misa adalah kurban bagi Tuhan dan persembahannya ialah Putera-Nya sendiri, Yesus.
Dalam Perjanjian Lama, umat mempersembahkan hewan sebagai kurban. Mereka membawa hewan-hewan kurban kepada seorang imam. Kemudian imam menyembelih hewan-hewan itu dan membakarnya di atas altar. Kadang-kadang ratusan, bahkan ribuan hewan dibakar sebagai kurban persembahan. Bau yang timbul akibat kurban bakaran tersebut sungguh sangat tidak enak. Imam menggunakan dupa untuk mengatasi bau tersebut.
Yesus menggantikan segala bentuk kurban yang lama dengan Tubuh-Nya sendiri di kayu salib. Kita masih tetap menggunakan dupa ratus pada peristiwa-peristiwa khusus. Tujuannya untuk mengingatkan kita bahwa Kurban Kristus mendatangkan keselamatan. Imam menggunakan perangkat khusus - seperti tampak pada gambar - untuk menyebarkan dupa.
sumber : P. Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan sebagian / seluruh artikel di atas dengan mencantumkan: “dikutip dari YESAYA: www.indocell.net/yesaya”